![]() |
Ilustrasi |
JAKARTA - Evolusi berlangsung selama ribuan tahun. Dan, kini proses tersebut diam-diam sedang berlangsung di Pulau Dewata. Safarina
G Malik, peneliti senior Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dan timnya
tengah mempelajari evolusi yang terjadi pada manusia Bali, yang
ditengarai berubah lebih gemuk. Ia mengamati beberapa parameter penanda
kegemukan seperti .....
Indeks Massa Tubuh (BMI), Lingkar Perut (WC), Kadar
Gula Darah, serta Glukosa Puasa (FPG).
Indeks Massa Tubuh
adalah suatu parameter yang dipakai untuk menggolongkan manusia dalam
kategori berat badan kurang, normal atau berlebih. Indeks tersebut
didapatkan lewat perkalian berat badan dengan tinggi badan per seratus
yang dikuadratkan.
Penelitian dilakukan di empat tempat yang
merepresentasikan kawasan pedesaan dan perkotaan. Kawasan Legian
merepresentasikan kawasan perkotaan sementara kawasan Pedawa,
Penglipuran dan Nusa Ceningan menjadi representasi kawasan pedesaan.
Keempat kawasan tersebut dipilih karena merupakan desa Bali asli.
Hasil
penelitian penunjukkan bahwa manusia Bali perkotaan lebih gemuk. “Orang
Bali urban walaupun umurnya muda-muda tapi punya BMI yang tinggi. Ini
artinya mereka lebih gemuk,” kata Safarina.
BMI orang Bali
perkotaan sebesar 26 sementara orang Bali pedesaan sebesar 23. Bagi
orang Asia, angka 25 merupakan angka keramat. Bila BMI melebihi angka
tersebut, maka seseorang sudah dikatakan kegemukan.
Selain
BMI, lingkar perut manusia Bali perkotaan lebih besar daripada Bali
pedesaan. Tercatat, lingkar perut orang Bali perkotaan adalah 89 -/+
11 sementara Bali pedesaan adalah 80 -/+ 11. Besarnya lingkar perut
merujuk pada akumulasi lemak di daerah tersebut.
Sejauh ini,
meski BMI dan WC besar, gula darah dan gula darah puasa pada manusia
Bali perkotaan belum menunjukkan peningkatan siginifikan.
“Tapi,
kalau dilihat dari trigliserida dan HDL (High Density Lipoprotein),
orang Bali urban mulai kelihatan tidak sehat. Trigliserida mereka
tinggi dan HDL-nya rendah,” imbuh Safarina saat ditemui Kompas.com Jumat (23/12/2011) lalu.
Trigliserida
adalah lemak, terdiri dari asam lemak dan gliserol. Kadar trigliserida
tinggi bisa berdampak pada penumpukan lemak di pembuluh darah maupun
jaringan lain. HDL seringkali dikenal sebagai kolesterol baik, berperan
membersihkan tumpukan lemak pada pembuluh darah. Dengan berkurangnya
HDL, maka fungsi pembersihan kurang efektif.
Kegemukan dan konstruksi lingkungan
Menurut
Safarina, kegemukan yang dijumpai pada manusia perkotaan perlu
dicermati. Kegemukan bisa terjadi akibat perubahan lingkungan dan gaya
hidup yang selanjutnya memunculkan tekanan bagi manusia sehingga
memberi pengaruh genetik, memacu proses evolusi.
Hal tersebut terkait dengan suatu teori yang disebut niche construction.
Teori yang saat ini masih banyak diperdebatkan tersebut menempatkan
manusia bukan saja sebagai objek tak berdaya dalam seleksi alam dan
evolusi, tetapi subjek yang aktif melakukan perubahan lingkungan hingga
akhirnya mempengaruhi dirinya sendiri.
“Kalau evolusi biasa, itu
kan lingkungan lalu berpengaruh ke seleksi alam, mengubah gene pool
lalu berkembang menjadi kultur dan diteruskan ke bawah terus menerus.
Kalau niche construction, gene pool dan kultur bisa kembali lagi mengubah lingkungan, lalu bisa diturunkan lagi,” papar lulusan Monash University, Australia itu.
Beberapa bukti kebenaran teori niche construction
bisa dilihat. Misalnya kemunculan gen yang berperan dalam penyerapan
laktosa susu. Masyarakat yang tinggal di Mediterania, memiliki
kebudayaan beternak dan memerah susu, mengembangkan gen yang secara
spesifik mendukung penyerapan laktosa. Pada populasi lain, gen ini
hanya aktif saat manusia masih bayi dan mengkonsumsi air susu ibu.
Namun, pada masyarakat Mediterania, gen ini dipertahankan hingga dewasa
karena tetap minum susu.
Bukti lain adalah sickle cell
anemia atau sel darah merah yang mengalami mutasi sehingga berbentuk
bulan sabit. Mutasi tersebut bukan terjadi tanpa sebab. Mulanya, mutasi
terjadi karena masyarakat Afrika mulai mengembangkan pertanian.
Pengembangan pertanian memicu genangan air sawah yang selanjutnya
berpotensi sebagai tempat berkembangnya jentik-jentik nyamuk pembawa
Malaria. Mutasi harus dilakukan agar manusia selamat dari kematian dan
kepunahan akibat penyakit tersebut hingga kemudian berkembanglah sickle
cell anemia yang resisten terhadap Malaria.
Di Bali, niche construction
juga terjadi dengan pengembangan pura air dan sistem irigasi yang
disebut subak. Sistem tersebut menurut prasasti yang ada (Bebetin dan
Sukawana) sudah berkembang sejak 1.000 tahun yang lalu. Sistem tersebut
menciptakan kemapanan karena bisa menjamin ketersediaan air sehingga
pertanian bisa dilakukan. Selain itu, sistem subak juga menciptakan
kemapanan genetik, manusia Bali secara khusus memiliki genetic background yang cocok untuk gaya hidup sebagai petani.
Namun,
perubahan kini mulai terjadi. Konstruksi lingkungan Bali yang baru
telah berlangsung. Ekonomi Bali yang semula ditopang oleh sawah kini
ditopang oleh hotel dan pantai eksotis. Resort mewah dibangun hingga ke
desa-desa. Lahan pertanian dikonversi menjadi resort mewah. Dan, yang
paling mencolok terjadi di Legian, dimana sawah hampir tak tersisa,
berubah menjadi hotel dan klub malam.
“Yang paling banyak
berubah adalah orang-orang di daerah turisme, misalnya Legian. Mereka
dulu biasanya ke ladang atau laut, sekarang tidak. Gaya hidup mereka
berubah. Sekarang jadi lebih banyak duduk-duduk di toko menunggu
pembeli,” jelas Safarina.
Apakah kegemukan yang terjadi di manusia Bali perkotaan adalah hasil niche construction?
Bisa jadi. Namun, kesimpulan tersebut masih perlu diteliti lebih jauh
dan tak bisa dilakukan dalam sekejap mata. Perubahan genetik selalu
berlangsung belakangan sehingga dampaknya baru bisa dilihat ratusan
atau ribuan tahun mendatang. Selain itu, diperlukan sampel yang
berjumlah besar untuk melihat hal tersebut.
Beberapa bukti genetik
Meski
ada beberapa hambatan seperti rentang waktu penelitian yang panjang dan
jumlah sampel, penelitian tetap dilakukan. Aspek genetika penyebab
kegemukan ditelisik.
Tim peneliti memeriksa 10 gen yang menjadi
faktor resiko kegemukan. Dari 10 gen, dua diantaranya ialah UCP2 dan
ADRB3. UCP2 adalah gen yang berkaitan dengan sekresi insulin sementara
ADRB3 terkait dengan peningkatan berat badan. Keduanya juga merupakan
faktor resiko munculnya Diabetes Mellitus Tipe 2 (T2DM).
Untuk
UCP 2, dilihat perubahan basa tunggal Ala55Val dan G(-866)A yang
biasanya terkait dengan kegemukan. Berdasarkan hasil studi yang
sebentar lagi akan dipublikasikan, polimorfisme pada gen tersebut
berpengaruh pada prevalensi obesitas. Contohnya, perubahan basa tunggal
pada G(-866)A berkaitan dengan tingginya kadar trigliserida pada pria.
Pada wanita, terdapat asosiasi antara perubahan basa tunggal dengan
prevalensi diabetes mellitus tipe 2.
Sementara, studi pada
ADRB3 melihat pengaruh alel Arg64 dan Trp64 dengan obesitas. Hasil
menunjukkan bahwa Alel Arg64 berpengaruh pada obesitas perempuan yang
hidup di pedesaan, Pedawa dan Penglipuran. Meski demikian, tidak bisa
dikatakan juga bahwa alel tersebut tidak berpengaruh di perkotaan. Efek
genetik di kota mungkin sedikit kabur karena banyaknya faktor
lingkungan yang mempengaruhi manusianya.
Dalam studi ADRB3 yang
dipublikasikan di jurnal BMC Research Notes tahun 2011 itu, terlihat
juga bahwa alel Arg64 juga berkaitan dengan prevalensi metabolic syndrome, meliputi peningkatan WC, FPG dan HDL. Sebanyak 45 persen pria yang mempunyai metabolic syndrome di wilayah perkotaan memiliki alel itu.
Hasil
studi yang dipublikasikan bisa dikatakan masih gejala awal. Penelitian
dengan jumlah sampel yang lebih besar masih harus dilakukan untuk
meneguhkan bahwa proses yang terjadi saat ini adalah bentuk niche construction.
Selain itu, masih perlu dilakukan pemeriksaan terhadap netral marker
yang dimiliki. Pemeriksaan netral marker sendiri rencananya akan
dimulai tahun depan.
Tantangan kesehatan
Terlepas dari apakah proses yang terjadi merupakan niche construction
atau bukan, perubahan manusia Bali perkotaan tak bisa dibantah. Studi
menunjukkan bahwa obesitas di wilayah Bali perkotaan dua kali lipat
dari wilayah pedesaan. Ini menuntut perhatian. Obesitas bisa memicu
munculnya penyakit diabetes mellitus, kardiovaskuler dan perlemakan
hati.
Karenanya, perlu diupayakan edukasi bagi masyarakat Bali
untuk memiliki gaya hidup sehat. Contohnya dengan makan makanan yang
sehat. Bila tidak, penyakit jantung, gula serta hati akan semakin umum
dijumpai di Bali.
“Genetic background orang Bali saat ini masih pertanian. Tidak cocok kalau makan fast food
seperti orang barat atau nasi yang jumlahnya banyak sekali,” ungkap
Safarina yang bersama tim peneliti di Eijkman memiliki kepakaran dalam
bidang DNA mitokondria, DNA yang terdapat di organel sel yang berperan
memproduksi energi. Menurutnya, komposisi makanan manusia Bali
seharusnya terdiri dari banyak sayuran, buah dan nasi secukupnya.
Perubahan
menjadi lebih gemuk tidak hanya dijumpai di Bali. Di negara-negara yang
sudah mengalami industrialisasi lebih dulu, perubahan sudah terjadi.
Edukasi tentang pola makan dan gaya hidup membuat mereka dalam kondisi
yang lebih mampu menyesuaikan saat ini.
Sementara itu,
perhatian lain juga harus diberikan pada subak yang sudah ada sejak
ribuan tahun lampau. Bila jumlah subak makin berkurang akibat diubah
menjadi tempat atau fasilitas pendukung pariwisata, masyarakat Bali
akan menghadapi tantangan pangan, kekeringan dan kekurangan air minum.
Pada akhirnya, ini akan memaksa masyarakat Bali juga berubah secara
genetik, berevolusi. Sayangnya, evolusi tak terjadi dalam waktu
singkat, berlangsung dalam jangka waktu ribuan tahun. Dan, evolusi pun
menyakitkan.
Sumber : Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar